Emile Durkheim
Emile Durkheim adalah seorang filsuf yang meneliti tentang kapitalisme. Dengan hasil pemikirannya, Emile bisa membantu kita memahami mengapa kapitalisme bisa membuat kita lebih kaya, tapi juga lebih menderita; bahkan memperbesar resiko depresi.
"Emile Durkheim" |
"Camille Pissarro, The Boulevard Montmartre at Night, 1897" |
Ini
menjadi topik yang dibahas secara mendalam pada hasil karya Emile yang paling
penting, “Suicide”, dipublikasikan pada 1897. Buku ini berisikan penemuan yang
tragis dan luar biasa: tingkat bunuh diri melonjak naik semenjak negara
mengalami industrialisasi dan kapitalisme memegang kendali. Emile mengamati
bahwa tingkat bunuh diri di Britain dua kali lipat lebih banyak dibandingkan
Italia; tapi di Denmark yang lebih kaya dan lebih maju, tingkat bunuh dirinya
empat kali lipat lebih banyak dibandingkan UK. Lebih jauh lagi, tingkat bunuh
diri terjadi lebih tinggi pada orang-orang yang berpendidikan; lebih tinggi
pada negara penganut Protestan dibandingkan Katolik; dan jauh lebih tinggi
terjadi pada orang-orang dengan kelas ekonomi menengah dibandingkan orang-orang
miskin.
"Edouard Manet, The Suicide, 1877" |
Sepanjang karirnya, Emile mencoba untuk menjelaskan mengapa orang-orang menjadi sangat tidak bahagia di komunitas modern ini, walaupun mereka memiliki lebih banyak kesempatan dan akses untuk hal-hal baik yang tidak pernah didapatkan oleh generasi sebelumnya. Emile membaginya menjadi lima faktor penting.
1. Individualisme
Pada komunitas tradisional, identitas setiap orang selalu dikaitkan dengan klan atau kelasnya. Kepercayaan, cara berpikir, pekerjaan, dan status secara otomatis mereka dapatkan sejak lahir. Sedikit sekali kesempatan untuk memilih: seseorang bisa saja tumbuh menjadi pembuat roti sukses tanpa pernah memilih suatu keputusan untuk dirinya sendiri. Mereka hanya tinggal menempati tempat yang sudah diciptakan oleh keluarga dan komunitas sekitarnya.
Tetapi pada era kapitalisme, diri sendiri (individu) yang diharuskan
memilih semuanya: pekerjaan apa yang harus diambil, agama apa yang diikuti,
dengan siapa harus menikah, dll. “Individualisme” ini memaksa kita untuk
menulis takdir kita sendiri. Hidup kita menjadi hasil dari kemampuan dan
ketekunan kita.
"Gustave Caillebotte, Young Man at his Window, 1875" |
2. Harapan yang berlebihan
Kapitalisme meningkatkan harapan. Semua orang – dengan usaha yang cukup – bisa menjadi bos. Semua orang harus berpikiran “besar”. “Kalian tidak terperangkap oleh masa lalu”, kata kapitalisme, “Kalian bebas untuk membentuk hidup kalian”. Kapitalisme mengiklankan ambisi yang besar dengan menunjukkan kemewahan tanpa batas yang bisa kita dapatkan. Kesempatan bertambah besar… juga kemungkinan untuk kekecewaan.
"Henri de Toulouse-Lautrec, Hangover, 1889" |
Menurut pandangan Emile, komunitas modern kesulitan untuk mengakui bahwa hidup memang terkadang sedih dan menyakitkan. Kecenderungan kita untuk murung dan berduka menjadi terlihat seperti pertanda kegagalan, bukannya respon wajar terhadap kondisi hidup manusia yang rumit.
3. Kita memiliki terlalu banyak kebebasan
Salah satu keluhan terhadap komunitas tradisional adalah
orang-orang butuh lebih banyak kebebasan. Para pemberontak mengeluhkan banyaknya
peraturan-peraturan sosial: tentang apa yang harus dikenakan, apa yang harus
dilakukan di hari Minggu siang, dan bagian mana dari lengan wanita yang boleh
untuk terbuka.
Kapitalisme mengurangi peraturan-peraturan tersebut. Negara menjadi lebih kompleks dan lebih beragam. Orang-orang sudah tidak lagi punya sesuatu kesamaan satu sama lain. Semua peraturan dan norma yang dulunya sudah mendarah daging mulai tidak berlaku lagi.
Pekerjaan apa yang harus saya pilih? Di mana saya harus tinggal? Ke mana saya harus pergi untuk liburan? Seperti apa pernikahan itu?
Di bawah kapitalisme, jawaban pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semakin beragam, tapi kurang spesifik. Akan muncul banyak sekali kalimat, “Terserah padamu”. Kalimat itu terdengar ramah, tapi juga berarti komunitas sekarang tidak terlalu peduli dengan apa yang kalian lakukan dan tidak percaya diri untuk menjawab dengan jawaban yang yang baik dan benar.
Ada saat-saat di mana kita akan penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi, dan berpikir bahwa kita bebas menentukan takdir hidup dan berusaha semaksimal mungkin demi diri kita sendiri. Tapi pada realitasnya, seperti yang Emile ketahui, terkadang kita menjadi terlalu lelah, terlalu sibuk, terlalu ragu – dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.
4. Ateisme
Emile sendiri adalah seorang atheis, tapi dia khawatir agama
akan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal bagi komunitas modern, padahal agama
adalah sesuatu yang terpenting untuk memperbaiki kehidupan sosial yang semakin
rusak. Emile mengapresiasi suasana kekeluargaan yang dibawa oleh adanya agama: “Agama
memberikan manusia sebuah sudut pandang tentang kehidupan selain di bumi di
mana semuanya terasa berbeda; gambaran ini mengurangi pemikiran tentang
ketidaksetaraan, dan bisa mengurangi kegundahan hati manusia”.
Marx tidak menyukai agama, karena dia menganggap agama membuat orang terlalu siap untuk menerima ketidaksetaraan. Itu bagaikan opium yang menghilangkan rasa sakit dan melemahkan kehendak. Tapi kritik ini muncul berdasarkan keyakinan bahwa sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membuat dunia yang setara dan bahwa opium ini bisa dihilangkan tanpa masalah.
Emile mengambil sudut pandang yang lebih gelap, bahwa ketidaksetaraan akan sangat sulit untuk dihapuskan (bahkan tidak mungkin), jadi kita mau tidak mau harus belajar, bagaimanapun juga, untuk mentolerirnya. Pemikiran ini mengarahkannya untuk lebih mengapresiasi gagasan yang dapat memperkecil dampak psikologi dari kenyataan tersebut.
"Camille Pissarro, The Fair by the Church of Saint-Jacques, Dieppe, 1901" |
Kapitalisme tidak memiliki sesuatu untuk menggantikannya. Ilmu sains jelas tidak bisa memberikan pengalaman yang sama. Tabel periodik mungkin berisi banyak hal yang indah dan merupakan bukti dari intelektual yang elegan – tapi itu tidak bisa menyatukan komunitas.
Emile sangat terpukau dengan ritual keagamaan yang mengharuskan partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa kekeluargaan. Tragedinya – menurut Emile – adalah bahwa kita sudah menyingkirkan agama di saat kita paling membutuhkannya dan tidak ada yang bisa menggantikannya.
5. Melemahnya keluarga
Keluarga mungkin terasa dapat memberikan rasa kenyamanan dan
kasih sayang yang kita butuhkan. Tapi Emile masih ragu. Keluarga tidak
se-stabil yang kita harapkan. Dan mereka tidak memberi akses kepada komunitas
yang lebih besar.
"John Singer Sargent, The Daughters of Edward Darley Boit, 1882"
Pemahaman tentang keluarga di masa tradisional tidak bertahan dan mulai hilang. Para pasangan berdebat untuk tinggal di rumah yang sama dan mengurus anak-anak mereka. Tapi saat sudah dewasa, anak-anak ini tidak diharapkan untuk bekerja bersama orang tua mereka; mereka tidak diharapkan untuk memiliki lingkup sosial yang sama dengan orang tua mereka. Mereka juga tidak merasa bahwa harga diri orang tua mereka ada di tangan mereka.
Pemahaman keluarga di masa sekarang yang lebih individual bukanlah hal yang buruk. Hanya saja itu tidak bisa lagi menjadi “rumah” tempat kita kembali yang membuat kita merasa memiliki sesuatu yang harus dijaga selain diri kita sendiri.
KESIMPULAN
Emile
sudah mendiagnosis dengan hebat penyakit kita. Dia menunjukkan bahwa ekonomi
modern memberikan tekanan yang besar untuk tiap individu tapi menghilangkan bimbingan,
arahan, dan rasa kekeluargaan di komunitas.
Emile
merasa tidak sanggup untuk menemukan jawaban masalah yang dia temukan, tapi dia
tahu bahwa kapitalisme pasti meninggalkan dampak negatif. Kita masih memiliki
banyak tugas dari Emile: untuk menciptakan cara baru menghidupkan kekeluargaan,
untuk mengurangi tekanan hidup individual, untuk menemukan keseimbangan yang
sesuai antara kebebasan dan solidaritas, dan untuk membuat ideologi yang bisa
membuat kita tidak menyalahkan diri kita sendiri karena kegagalan.
Sumber: https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/the-great-philosophers-emile-durkheim/
Contact:
Twitter
@HelloArmany
Komentar
Posting Komentar