Emile Durkheim

Emile Durkheim adalah seorang filsuf yang meneliti tentang kapitalisme. Dengan hasil pemikirannya, Emile bisa membantu kita memahami mengapa kapitalisme bisa membuat kita lebih kaya, tapi juga lebih menderita; bahkan memperbesar resiko depresi.

 

"Emile Durkheim"


Emile lahir pada 1858 di sebuah kota kecil di Perancis, Epinal. Keluarganya adalah penganut Yahudi yang taat, tapi Emile sendiri tidak percaya pada Tuhan. Dia adalah siswa yang pintar semasa sekolah. Emile bersekolah di sekolah elit Ecole Normale Supérieure di Paris, pergi ke Jerman untuk beberapa waktu, lalu mengambil pekerjaan di Universitas di Bordeaux. Emile lalu menikah dan memiliki dua anak, Marie dan André. Sebelum mencapai umur 40 tahun, Emile ditunjuk menjadi professor di Sorbonne. Dia sudah memiliki kedudukan dan kehormatan, tapi pemikirannya masih tetap tidak biasa dan rasa ingin tahunya masih besar. Dia meninggal karena stroke pada 1917.

 

"Camille Pissarro, The Boulevard Montmartre at Night, 1897"


Emile mengalami secara langsung perubahan cepat Perancis, dari komunitas pertanian yang tradisional menjadi negara dengan ekonomi industri. Dia bisa melihat bahwa negaranya menjadi kaya, kapitalisme menjadi sangat produktif, dan di sisi lain, bebas. Tapi yang paling membuatnya kaget, dan yang menjadi fokus karirnya, adalah dampak psikologi dari kapitalisme. Sistem ekonomi mungkin saja menciptakan kelas baru, tapi itu juga memberikan suatu dampak pada pikiran manusia, yaitu meningkatkan tingkat depresi dan bunuh diri.

Ini menjadi topik yang dibahas secara mendalam pada hasil karya Emile yang paling penting, “Suicide”, dipublikasikan pada 1897. Buku ini berisikan penemuan yang tragis dan luar biasa: tingkat bunuh diri melonjak naik semenjak negara mengalami industrialisasi dan kapitalisme memegang kendali. Emile mengamati bahwa tingkat bunuh diri di Britain dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Italia; tapi di Denmark yang lebih kaya dan lebih maju, tingkat bunuh dirinya empat kali lipat lebih banyak dibandingkan UK. Lebih jauh lagi, tingkat bunuh diri terjadi lebih tinggi pada orang-orang yang berpendidikan; lebih tinggi pada negara penganut Protestan dibandingkan Katolik; dan jauh lebih tinggi terjadi pada orang-orang dengan kelas ekonomi menengah dibandingkan orang-orang miskin.

 

"Edouard Manet, The Suicide, 1877"


Emile sengaja mengambil fokus pada bunuh diri supaya mengangkat tingkat ketidakbahagiaan dan keputusasaan yang lebih umum di masyarakat. Bunuh diri ibaratnya adalah puncak gunung es dari penderitaan mental yang diakibatkan oleh kapitalisme.

Sepanjang karirnya, Emile mencoba untuk menjelaskan mengapa orang-orang menjadi sangat tidak bahagia di komunitas modern ini, walaupun mereka memiliki lebih banyak kesempatan dan akses untuk hal-hal baik yang tidak pernah didapatkan oleh generasi sebelumnya. Emile membaginya menjadi lima faktor penting.

1. Individualisme

Pada komunitas tradisional, identitas setiap orang selalu dikaitkan dengan klan atau kelasnya.  Kepercayaan, cara berpikir, pekerjaan, dan status secara otomatis mereka dapatkan sejak lahir. Sedikit sekali kesempatan untuk memilih: seseorang bisa saja tumbuh menjadi pembuat roti sukses tanpa pernah memilih suatu keputusan untuk dirinya sendiri. Mereka hanya tinggal menempati tempat yang sudah diciptakan oleh keluarga dan komunitas sekitarnya.

Tetapi pada era kapitalisme, diri sendiri (individu) yang diharuskan memilih semuanya: pekerjaan apa yang harus diambil, agama apa yang diikuti, dengan siapa harus menikah, dll. “Individualisme” ini memaksa kita untuk menulis takdir kita sendiri. Hidup kita menjadi hasil dari kemampuan dan ketekunan kita.

 

"Gustave Caillebotte, Young Man at his Window, 1875"


Jika semuanya berjalan dengan baik, kita bisa merasa bangga pada diri kita sendiri. Tetapi jika tidak, hasilnya akan sangat buruk, karena artinya tidak ada orang lain yang bisa disalahkan. Kita harus menanggung semua tanggung jawab. Ini sudah bukan masalah keberuntungan lagi, karena kita sudah memilih dan gagal. Individualisme menjauhkan dari mengakui adanya faktor keberuntungan dan peluang dalam hidup. Kegagalan membuat kita men-judge diri kita sendiri dengan buruk. Ini menjadi beban hidup tersendiri di dunia kapitalisme modern

 

2. Harapan yang berlebihan

Kapitalisme meningkatkan harapan. Semua orang – dengan usaha yang cukup – bisa menjadi bos. Semua orang harus berpikiran “besar”. “Kalian tidak terperangkap oleh masa lalu”, kata kapitalisme, “Kalian bebas untuk membentuk hidup kalian”. Kapitalisme mengiklankan ambisi yang besar dengan menunjukkan kemewahan tanpa batas yang bisa kita dapatkan. Kesempatan bertambah besar… juga kemungkinan untuk kekecewaan.


"Henri de Toulouse-Lautrec, Hangover, 1889"


Kecemburuan semakin meluas. Orang menjadi tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Bukan karena itu buruk, tapi karena pemikiran tentang hal lain yang gagal dia dapatkan.

Menurut pandangan Emile, komunitas modern kesulitan untuk mengakui bahwa hidup memang terkadang sedih dan menyakitkan. Kecenderungan kita untuk murung dan berduka menjadi terlihat seperti pertanda kegagalan, bukannya respon wajar terhadap kondisi hidup manusia yang rumit.

 

3. Kita memiliki terlalu banyak kebebasan

Salah satu keluhan terhadap komunitas tradisional adalah orang-orang butuh lebih banyak kebebasan. Para pemberontak mengeluhkan banyaknya peraturan-peraturan sosial: tentang apa yang harus dikenakan, apa yang harus dilakukan di hari Minggu siang, dan bagian mana dari lengan wanita yang boleh untuk terbuka.

Kapitalisme mengurangi peraturan-peraturan tersebut. Negara menjadi lebih kompleks dan lebih beragam. Orang-orang sudah tidak lagi punya sesuatu kesamaan satu sama lain. Semua peraturan dan norma yang dulunya sudah mendarah daging mulai tidak berlaku lagi.

Pekerjaan apa yang harus saya pilih? Di mana saya harus tinggal? Ke mana saya harus pergi untuk liburan? Seperti apa pernikahan itu?

Di bawah kapitalisme, jawaban pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semakin beragam, tapi kurang spesifik. Akan muncul banyak sekali kalimat, “Terserah padamu”. Kalimat itu terdengar ramah, tapi juga berarti komunitas sekarang tidak terlalu peduli dengan apa yang kalian lakukan dan tidak percaya diri untuk menjawab dengan jawaban yang yang baik dan benar.

Ada saat-saat di mana kita akan penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi, dan berpikir bahwa kita bebas menentukan takdir hidup dan berusaha semaksimal mungkin demi diri kita sendiri. Tapi pada realitasnya, seperti yang Emile ketahui, terkadang kita menjadi terlalu lelah, terlalu sibuk, terlalu ragu – dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.

 

4. Ateisme

Emile sendiri adalah seorang atheis, tapi dia khawatir agama akan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal bagi komunitas modern, padahal agama adalah sesuatu yang terpenting untuk memperbaiki kehidupan sosial yang semakin rusak. Emile mengapresiasi suasana kekeluargaan yang dibawa oleh adanya agama: “Agama memberikan manusia sebuah sudut pandang tentang kehidupan selain di bumi di mana semuanya terasa berbeda; gambaran ini mengurangi pemikiran tentang ketidaksetaraan, dan bisa mengurangi kegundahan hati manusia”.

Marx tidak menyukai agama, karena dia menganggap agama membuat orang terlalu siap untuk menerima ketidaksetaraan. Itu bagaikan opium yang menghilangkan rasa sakit dan melemahkan kehendak. Tapi kritik ini muncul berdasarkan keyakinan bahwa sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membuat dunia yang setara dan bahwa opium ini bisa dihilangkan tanpa masalah.

Emile mengambil sudut pandang yang lebih gelap, bahwa ketidaksetaraan akan sangat sulit untuk dihapuskan (bahkan tidak mungkin), jadi kita mau tidak mau harus belajar, bagaimanapun juga, untuk mentolerirnya. Pemikiran ini mengarahkannya untuk lebih mengapresiasi gagasan yang dapat memperkecil dampak psikologi dari kenyataan tersebut.


"Camille Pissarro, The Fair by the Church of Saint-Jacques, Dieppe, 1901"


Emile juga melihat bahwa agama mempererat hubungan antara manusia. Raja dan pelayan menyembah Tuhan yang sama, mereka berdoa di gedung yang sama dengan kalimat yang sama. Kekayaan, status, dan kekuatan tidak ada hubungannya dengan nilai spiritual.

Kapitalisme tidak memiliki sesuatu untuk menggantikannya. Ilmu sains jelas tidak bisa memberikan pengalaman yang sama. Tabel periodik mungkin berisi banyak hal yang indah dan merupakan bukti dari intelektual yang elegan – tapi itu tidak bisa menyatukan komunitas.

Emile sangat terpukau dengan ritual keagamaan yang mengharuskan partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa kekeluargaan. Tragedinya – menurut Emile – adalah bahwa kita sudah menyingkirkan agama di saat kita paling membutuhkannya dan tidak ada yang bisa menggantikannya.

 

5. Melemahnya keluarga

Keluarga mungkin terasa dapat memberikan rasa kenyamanan dan kasih sayang yang kita butuhkan. Tapi Emile masih ragu. Keluarga tidak se-stabil yang kita harapkan. Dan mereka tidak memberi akses kepada komunitas yang lebih besar.


"John Singer Sargent, The Daughters of Edward Darley Boit, 1882"

 

Pemahaman tentang keluarga di masa tradisional tidak bertahan dan mulai hilang. Para pasangan berdebat untuk tinggal di rumah yang sama dan mengurus anak-anak mereka. Tapi saat sudah dewasa, anak-anak ini tidak diharapkan untuk bekerja bersama orang tua mereka; mereka tidak diharapkan untuk memiliki lingkup sosial yang sama dengan orang tua mereka. Mereka juga tidak merasa bahwa harga diri orang tua mereka ada di tangan mereka.

Pemahaman keluarga di masa sekarang yang lebih individual bukanlah hal yang buruk. Hanya saja itu tidak bisa lagi menjadi “rumah” tempat kita kembali yang membuat kita merasa memiliki sesuatu yang harus dijaga selain diri kita sendiri.

 

KESIMPULAN

Emile sudah mendiagnosis dengan hebat penyakit kita. Dia menunjukkan bahwa ekonomi modern memberikan tekanan yang besar untuk tiap individu tapi menghilangkan bimbingan, arahan, dan rasa kekeluargaan di komunitas.

Emile merasa tidak sanggup untuk menemukan jawaban masalah yang dia temukan, tapi dia tahu bahwa kapitalisme pasti meninggalkan dampak negatif. Kita masih memiliki banyak tugas dari Emile: untuk menciptakan cara baru menghidupkan kekeluargaan, untuk mengurangi tekanan hidup individual, untuk menemukan keseimbangan yang sesuai antara kebebasan dan solidaritas, dan untuk membuat ideologi yang bisa membuat kita tidak menyalahkan diri kita sendiri karena kegagalan.

 

Sumber: https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/the-great-philosophers-emile-durkheim/

 

Contact:

Twitter @HelloArmany

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Drama "Lovely Us"

Review Drama "Meow The Secret Boy"

Review "Dancing High"